Selasa, 17 Desember 2019

TARI TOPENG CIREBON BERTAHAN DARI KEPUNAHAN




Saat ini Tari topeng di kota Cirebon ini sekarang  bisa dikatakan sedang dalam masa terancam oleh kepunahan, di karena kan adanya kesenian kesenian yang baru datang atau bisa di sebut dengan kesenian modern. Ironis nya beberapa aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon hamper punah, bahkan beberapa di antara nya  sudah punah. Sebagian seniman dari aliran tari topeng Cirebon ada yang mencoba mempertahankan nya.  Sering kali mereka di anggap kuno. Bahkan, beberapa maestro yang masih eksis, hidupnya pun jauh dari layaknya seorang maestro seni. Ada beberapa hal yang menyebabkan tari topeng ini terancam dengan kepunahan. mengapa demikian ? karena menurut Eyang Panji, tradisi kesenian yang ada pada tari topeng saat ini sudah tidak lagi sama dengan tradisi kesenian yang waktu ketika ia menari pada jaman dulu. Karena, Selain banyak orang yang hanya asal asalan bisa menarikan nya, juga tuntutan dari masyarakat agar tari topeng ini di ubah atau di modifikasi, Tapi ternyata ada banyak tata cara dan tradisi yang harus di hilangkan untuk mengikuti arahan pemerintah. Ada tiga hal yang harus diubah oleh Sujana beserta kelompok tari nya tersebut, yaitu ketentuan nya tidak boleh ngamen dari rumah ke rumah atau lazim dikenal dengan istilah bebarang, serta tidak boleh pakai kaus kaki ketika menari, dan juga harus mengganti baju berwarna hitam dengan baju yang lebih meriah untuk menyebarkan  agama
Pada awalnya, tari topeng ini di gunakan untuk menyebar kan agama dengan cara datang ke rumah seseorang dengan mengharap kan si pemilik rumah bisa membawakan doa syahadat. Namun dalam perkembangan nya, pembacaan syahadat memang sudah tidak di kembang kan lagi, tapi di ganti dengan bebarang ketika musim panen padi tiba. Bila musim panen tiba, Sujana dan kelompok tarinya datang dari rumah ke rumah untuk mengamen. Ketika itu, mereka di bayar dengan padi sistem bakdeng, satu bedeng atau sekitar 30 kilogram padi untuk satu babak.
Selain itu, pemakaian kaus kaki putih juga dilarang. Pasalnya, pemerintah menganggap kaus kaki yang berwarna putih adalah simbol orang-orang yang penganut komunis. Padahal, kaus kaki putih tersebut merupakan simbol kesucian seseorang, lebih dari sekadar aksesoris. Seorang dalang yang akan menari harus suci hati dan pikiran nya. Dalam hal ini disimbol kan dengan kaus kaki yang berwarna putih. Sedang kan aturan baru lainnya adalah perihal baju yang harus dibuat lebih berwarna, tidak polosan dengan warna hitam.
Padahal awalnya, warna polos itu menyimbol kan kesederhanaan bagi dalang nya agar nanti nya para penonton tari tersebut dapat meniru cara hidup sederhana. "Saya waktu itu sampai sekarang ikut saja. Padahal, saya tahu kalau di ubah, pastinya ada pesan tertentu yang pasti akan hilang. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga orang takut," ujar Sujana Arja.
Akan tetapi, gagasan perubahan yang di gulir kan tidak lagi sejalan dengan nasib tari topeng Cirebon. Akhir-akhir ini, sajian tari topeng Sujana beserta kelompok tari Panji Dharma mulai di tinggal kan masyarakat. "Terakhir kali menerima order bayaran dengan Rp 30 juta. Akan tetapi sekarang uang nya sudah habis karena harus dibagi rata dengan personel yang lain nya yang ber jumlah nya sekitar 30 orang. Kalau sudah begitu, saya terpaksa mengutang ke  tetangga karena sudah tidak ada yang tersisa lagi dari saya untuk membiayai hidup sehari-hari," katanya. Harus bersaing Menurut Inu Kertapati-dalang tari topeng lainnya berbeda dengan dulu, setiap hari selalu saja ada orang yang meminta nya untuk menarikan tari topeng. Baik khitanan, pernikahan, maupun selamatan rumah, biasanya tari topeng ini selalu hadir dan diminati masyarakat setempat."
Kami sudah sangat sadar kalau sekarang tari topeng ini sudah mulai tidak diminati lagi dan kami harus bersaing dengan kesenian lain nya yang kata orang lebih baru dan modern seperti contohnya dance atau organ tunggal dan lain sebagainya. Tapi apakah ini suatu kesalahan bila kami ingin tetap pertahankan tradisi turun-temurun ini" ujar Inu, anak ketiga dari Sujana Arja. Selain itu, menurut Inu, kepunahan tari topeng bisa saja lebih cepat terjadi. Pasalnya, selama ini tari topeng Cirebon hanya ditampilkan pada waktu tertentu. Akibat nya minat dan pengetahuan masyarakat terhadap tari topeng semakin berkurang dan di minati.
Tari topeng ini biasa nya hanya muncul di saat even kejuaraan dan acara yang di selenggara kan pihak Keraton di Cirebon. Di luar itu, tari topeng masih sangat sulit di temukan. semua ini di karenakan  karena Biaya yang mahal dan adanya kesenian lain yang lebih modern sehingga membuat masyarakat mulai meninggalkan tari topeng di Cirebon. Kesenian di Jawa Barat setidak nya memiliki 35 rumpun seni, yang terdiri dari 391 jenis kesenian. Dari jumlah itu, 100 jenis kesenian berkembang di masyarakat, 39 diantara nya sangat ber kembang. Kesenian yang sangat terkenal di Jabar adalah kesenian Jaipongan. Kesenian ini sangat ber kembang, antara lain di Kota Bandung, Cimahi, Tasikmalaya, Majalengka dan Bekasi.
Kesenian lain yang menjadi ciri ciri khas Jawa Barat adalah tembang sunda, tayub, wayang golek, reog, calung, angklung atau arumba, dan sintren. Di wilayah kota Cirebon terkenal dengan ciri ciri kesenian tari topeng Cirebon, tarling, gembyung, dan wayang kulit. Sementara untuk daerah Kuningan dan daerah Indramayu jenis kesenian nya seperti sandiwara, sintren, kuda lumping juga berkembang baik. Sementara di kota Sukabumi, potensi seni yang ada antara lain, uyeg, cador, kliningan, kecapi suling, calung, debus, dan ketuk tilu. Adapun kesenian yang berkembang di Karawang dan Subang, antara lain yaitu bajidoran, dombret, dan kesenian sisingaan. Jumlah seniman di Jawa Barat sebanyak  49.023 orang dan hingga kini masih aktif. Seniman yang tinggal di daerah Bandung ada 6.652 orang, dan seniman yang tinggal di daerah Sumedang ada 5.190 orang.
                Setiap kali ada seseorang yang hingga akhir hayat nya tetap kukuh memilih dunianya menjadi bagian dari “ritus kehidupan”, setiap kali ada seseorang yang selama hayat nya meletakan hamper seluruh kreativitas nya menjadi representasi dari segenap “totalitas kehidupan”, setiap kali pula, tanpa pamrih, dengan tulus mengajarkan serta merelakan dirinya hanya untuk keseian dan berdiri sebagai seniman yang dengan karya-karyanya sebuah bangsa, di antara sekian karya yang lain, dihabiskan berbudaya dan memiliki spirit peradaban. Adakah kita bisa meletakan kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang sama?
                Seniman, terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi lengkap dengan membawa khazanah lokal, yang menjadi bagian substantive di dalamnya, tampak mengalami dilemma di sana-sini dalam menghadapi perubahan zaman. Sejumah seni tradisi yang merupakan “ikon” dan “akar” dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu, berada pada posisi marginal dan feriferal. Dan ironisnya, justru seni-seni tradisi yang semula menjadi simbol dalam penyeimbang (equilibrium) seni-seni yang di nilai sangat sentral (adiluhung).





0 comments:

Posting Komentar