Saat ini Tari
topeng di kota Cirebon ini sekarang bisa
dikatakan sedang dalam masa terancam oleh kepunahan, di karena kan adanya
kesenian kesenian yang baru datang atau bisa di sebut dengan kesenian modern. Ironis
nya beberapa aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon hamper punah, bahkan
beberapa di antara nya sudah punah.
Sebagian seniman dari aliran tari topeng Cirebon ada yang mencoba
mempertahankan nya. Sering kali mereka
di anggap kuno. Bahkan, beberapa maestro yang masih eksis, hidupnya pun jauh
dari layaknya seorang maestro seni. Ada beberapa hal yang menyebabkan tari
topeng ini terancam dengan kepunahan. mengapa demikian ? karena menurut Eyang
Panji, tradisi kesenian yang ada pada tari topeng saat ini sudah tidak lagi
sama dengan tradisi kesenian yang waktu ketika ia menari pada jaman dulu. Karena,
Selain banyak orang yang hanya asal asalan bisa menarikan nya, juga tuntutan dari
masyarakat agar tari topeng ini di ubah atau di modifikasi, Tapi ternyata ada
banyak tata cara dan tradisi yang harus di hilangkan untuk mengikuti arahan
pemerintah. Ada tiga hal yang harus diubah oleh Sujana beserta kelompok tari nya
tersebut, yaitu ketentuan nya tidak boleh ngamen dari rumah ke rumah atau lazim
dikenal dengan istilah bebarang, serta tidak boleh pakai kaus kaki ketika
menari, dan juga harus mengganti baju berwarna hitam dengan baju yang lebih meriah
untuk menyebarkan agama
Pada awalnya,
tari topeng ini di gunakan untuk menyebar kan agama dengan cara datang ke rumah
seseorang dengan mengharap kan si pemilik rumah bisa membawakan doa syahadat.
Namun dalam perkembangan nya, pembacaan syahadat memang sudah tidak di kembang kan
lagi, tapi di ganti dengan bebarang ketika musim panen padi tiba. Bila musim
panen tiba, Sujana dan kelompok tarinya datang dari rumah ke rumah untuk
mengamen. Ketika itu, mereka di bayar dengan padi sistem bakdeng, satu bedeng
atau sekitar 30 kilogram padi untuk satu babak.
Selain itu,
pemakaian kaus kaki putih juga dilarang. Pasalnya, pemerintah menganggap kaus
kaki yang berwarna putih adalah simbol orang-orang yang penganut komunis.
Padahal, kaus kaki putih tersebut merupakan simbol kesucian seseorang, lebih
dari sekadar aksesoris. Seorang dalang yang akan menari harus suci hati dan pikiran
nya. Dalam hal ini disimbol kan dengan kaus kaki yang berwarna putih. Sedang kan
aturan baru lainnya adalah perihal baju yang harus dibuat lebih berwarna, tidak
polosan dengan warna hitam.
Padahal awalnya,
warna polos itu menyimbol kan kesederhanaan bagi dalang nya agar nanti nya para
penonton tari tersebut dapat meniru cara hidup sederhana. "Saya waktu itu
sampai sekarang ikut saja. Padahal, saya tahu kalau di ubah, pastinya ada pesan
tertentu yang pasti akan hilang. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga orang
takut," ujar Sujana Arja.
Akan tetapi,
gagasan perubahan yang di gulir kan tidak lagi sejalan dengan nasib tari topeng
Cirebon. Akhir-akhir ini, sajian tari topeng Sujana beserta kelompok tari Panji
Dharma mulai di tinggal kan masyarakat. "Terakhir kali menerima order
bayaran dengan Rp 30 juta. Akan tetapi sekarang uang nya sudah habis karena
harus dibagi rata dengan personel yang lain nya yang ber jumlah nya sekitar 30 orang.
Kalau sudah begitu, saya terpaksa mengutang ke tetangga karena sudah tidak ada yang tersisa
lagi dari saya untuk membiayai hidup sehari-hari," katanya. Harus bersaing
Menurut Inu Kertapati-dalang tari topeng lainnya berbeda dengan dulu, setiap
hari selalu saja ada orang yang meminta nya untuk menarikan tari topeng. Baik
khitanan, pernikahan, maupun selamatan rumah, biasanya tari topeng ini selalu
hadir dan diminati masyarakat setempat."
Kami sudah
sangat sadar kalau sekarang tari topeng ini sudah mulai tidak diminati lagi dan
kami harus bersaing dengan kesenian lain nya yang kata orang lebih baru dan
modern seperti contohnya dance atau organ tunggal dan lain sebagainya. Tapi
apakah ini suatu kesalahan bila kami ingin tetap pertahankan tradisi
turun-temurun ini" ujar Inu, anak ketiga dari Sujana Arja. Selain itu,
menurut Inu, kepunahan tari topeng bisa saja lebih cepat terjadi. Pasalnya,
selama ini tari topeng Cirebon hanya ditampilkan pada waktu tertentu. Akibat nya
minat dan pengetahuan masyarakat terhadap tari topeng semakin berkurang dan di
minati.
Tari topeng ini biasa
nya hanya muncul di saat even kejuaraan dan acara yang di selenggara kan pihak
Keraton di Cirebon. Di luar itu, tari topeng masih sangat sulit di temukan.
semua ini di karenakan karena Biaya yang
mahal dan adanya kesenian lain yang lebih modern sehingga membuat masyarakat
mulai meninggalkan tari topeng di Cirebon. Kesenian di Jawa Barat setidak nya
memiliki 35 rumpun seni, yang terdiri dari 391 jenis kesenian. Dari jumlah itu,
100 jenis kesenian berkembang di masyarakat, 39 diantara nya sangat ber kembang.
Kesenian yang sangat terkenal di Jabar adalah kesenian Jaipongan. Kesenian ini sangat
ber kembang, antara lain di Kota Bandung, Cimahi, Tasikmalaya, Majalengka dan
Bekasi.
Kesenian lain
yang menjadi ciri ciri khas Jawa Barat adalah tembang sunda, tayub, wayang
golek, reog, calung, angklung atau arumba, dan sintren. Di wilayah kota Cirebon
terkenal dengan ciri ciri kesenian tari topeng Cirebon, tarling, gembyung, dan wayang
kulit. Sementara untuk daerah Kuningan dan daerah Indramayu jenis kesenian nya
seperti sandiwara, sintren, kuda lumping juga berkembang baik. Sementara di
kota Sukabumi, potensi seni yang ada antara lain, uyeg, cador, kliningan,
kecapi suling, calung, debus, dan ketuk tilu. Adapun kesenian yang berkembang
di Karawang dan Subang, antara lain yaitu bajidoran, dombret, dan kesenian sisingaan.
Jumlah seniman di Jawa Barat sebanyak 49.023
orang dan hingga kini masih aktif. Seniman yang tinggal di daerah Bandung ada
6.652 orang, dan seniman yang tinggal di daerah Sumedang ada 5.190 orang.
Setiap
kali ada seseorang yang hingga akhir hayat nya tetap kukuh memilih dunianya
menjadi bagian dari “ritus kehidupan”, setiap kali ada seseorang yang selama
hayat nya meletakan hamper seluruh kreativitas nya menjadi representasi dari
segenap “totalitas kehidupan”, setiap kali pula, tanpa pamrih, dengan tulus
mengajarkan serta merelakan dirinya hanya untuk keseian dan berdiri sebagai
seniman yang dengan karya-karyanya sebuah bangsa, di antara sekian karya yang
lain, dihabiskan berbudaya dan memiliki spirit peradaban. Adakah kita bisa
meletakan kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang sama?
Seniman,
terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi lengkap dengan membawa
khazanah lokal, yang menjadi bagian substantive di dalamnya, tampak mengalami dilemma
di sana-sini dalam menghadapi perubahan zaman. Sejumah seni tradisi yang
merupakan “ikon” dan “akar” dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita
tahu, berada pada posisi marginal dan feriferal. Dan ironisnya, justru
seni-seni tradisi yang semula menjadi simbol dalam penyeimbang (equilibrium)
seni-seni yang di nilai sangat sentral (adiluhung).
0 comments:
Posting Komentar