Pada tari Topeng Cirebon terdapat
beberapa gaya tarian yang secara yang telah diakui secara adat, gaya-gaya ini
berasal dari desa-desa asli tempat di mana tari Topeng Cirebon lahir dan juga
dari desa lainnya yang menciptakan gaya baru yang secara adat telah diakui
lepas dari gaya lainnya. Endo Suanda seorang peneliti tari Cirebon melihat
perbedaan gaya tari Topeng Cirebon antar daerah tersebut dikarenakan adanya
penyesuaian selera penonton dengan nilai estetika gerak tarian di atas
panggung, berikut beberapa gaya tari Topeng Cirebon:
Tari
Topeng Cirebon gaya Beber
Tari Topeng Cirebon gaya Beber
adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang lahir di desa Beber, kecamatan Ligung, kabupaten Majalengka, Jawa
Barat. Sejak abad ke 17, awalnya tari
Topeng yang ada di desa Beber dibawa oleh seorang seniman dari Gegesik, Cirebon yang
bernama Setian, tetapi menurut para ahli Dalang Topeng Cirebon
gaya Beber seperti mimi Yayah dan Ki Dalang
Kardama yang pertama kali membawa tarian Topeng ke desa Beber dan menjadi tari Topeng Cirebon gaya Beber
adalah mimi Sonten dan Surawarcita yang masih berasal dari
Gegesik sejak itu menurunkan beberapa generasi para seniman.
Babak tarian
Pembagian babak pada
tari topeng Cirebon gaya Beber menurut Ki Andet Suanda
dilakukan dengan berdasar para interpretasi tentang sifat dan kesadaran
manusia.
·
Topeng Panji, merupakan sebuah
penggambaran dari sebuah jiwa yang halus
- Topeng
Samba, merupakan sebuah penggambaran dari sebuah jiwa yang sedang tumbuh
- Topeng
Temenggung, merupakan sebuah penggambaran dari sebuah jiwa yang sudah
dewasa
- Topeng Jinggananom
+ Temenggung, merupakan sebuah penggambaran dari pertarungan antara jiwa
yang memiliki nafsu baik dan nafsu jahat
- Topeng
Klana, merupakan sebuah penggambaran dari jiwa manusia yang penuh dengan
hawa nafsu dan emosi
- Topeng
Rumyang, merupakan sebuah penggambaran dari jiwa manusia yang sudah
melepaskan nafsu duniawinya dan menjadi manusia yang harum.
Babak Rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Beber dipentaskan
di akhir pagelaran, menurut Ki Pandi Surono (budayawan Cirebon
sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Beber) pada masa lalu pagelaran tari
Topeng Cirebon terutama gaya Beber dilakukan pada malam hari
dan babak Rumyang dipentaskan mendekati terbitnya matahari
saat sinar matahari terlihat samar-samar (bahasa
Cirebon: ramyang-ramyang) dari
kata ramyang inilah kemudian babak ini
dinamakan, keterangan lebih lanjut tentang filosofi babak rumyang yang
dipentaskan diahkhir setelah babak Topeng Klana yang merupakan
proyeksi dari jiwa yang penuh nafsu dan emosi dijelaskan oleh Ki Waryo
(budayawan Cirebon sekaligus dalang Wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan (Palimanan) dan seorang ahli pembuat
Topeng Cirebon) putera dari Ki Empek. Ki Waryo
menjelaskan bahwa filosofi dari Rumyang terkait dengan sebuah
proyeksi jiwa manusia yang sudah meninggalkan nafsu duniawinya,
dan menjadi manusia yang utuh (manusia harum)
karena sudah tidak terbelenggu lagi dengan nafsu duniawi. Rumyang diartikan
kedalam dua buah kata yaitu arum harum) dan yang (manusia / orang) sehingga Rumyang diartikan
secara harafiah menjadi manusia yang harum
Dalang
tari Topeng Cirebon gaya Beber
Para dalang tari Topeng Cirebon yang
terkenal jamannya di antaranya Andet Suanda, Ening Tasminah, H. Warniti yang
kesemuanya telah almarhum, Generasi berikutnya yaitu Rohati (anak tunggal dari
Ening Tasminah), Iyat (telah almarhum), Iis, Nengsih, juga para buyut, cucu
serta pewarisnya yaitu Yayah, istri dari Ki dalang Suhadi di desa
Randegan (sekarang telah mekar menjadi desa Randegan Kulon dan desa Randegan Wetan, kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka ), Een di Beber dan Ki Pandi Surono
(anak dari dalang Rohati dan cucu dari dalang Ening Tasminah) yang membina
Sanggar Anggraeni.
Sanggar
tari
·
Sanggar Anggraeni, pimpinan Ki Pandi
Surono, Griya Nugratama, Jl Raya Sukabumi no 105 Pasir Hayam, desa Sirnagalih,kecamatan
Cilaku, kabupaten
Cianjur, Jawa
Barat
·
Sanggar Langgeng Budaya,
pimpinan mimi Yayah dan Ki Dalang Anom
Suhadi, di desa Randegan, kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka
Tari
Topeng Cirebon gaya Brebes
Menurut Babad Tanah Losari diceritakan
bahwa Pangeran Angkawijaya pergi ke Losari dari kesultanan Cirebon menepi
dari kehidupan Keraton karena tidak ingin terkungkung dengan sistem kehidupan
kesultanan yang serba gemerlap. Selain itu, menepinya Pangeran Angkawijaya
dari kesultanan Cirebon karena
adanya konflik Internal soal perjodohan antara dirinya dengan kakaknya yakni
Panembahan Ratu.
Saat itu Panembahan Ratu yang
termasuk kakak Angkawijaya hendak menikahi putri dari Raja Pajang yakni Nyai
Mas Gamblok, sebenarnya putri Gamblok lebih menyukai Pangeran Angkawijaya,
tetapi karena urutan usia, Panembahan Ratu yang lebih tua menyatakan berhak
mengawini Nyai Mas gamblok, menghindari hal yang tidak dinginkan terjadi,
Pangeran Pangeran Angkawijaya lalu pergi ke arah timur dari tanah Cirebon
hingga menetap di daerah pedukuhan pinggir sungai Cisanggarung yang akhirnya
dinamakan Losari, dari tempat ini kemudian Pangeran Angkawijaya mengembangkan
keterampilannya di bidang seni, beberapa hasil kreasinya diyakini adalah batik
Cirebon motif Gringsing dan tari Topeng Cirebon gaya Losari.
Pangeran Angkawijaya tercatat
meninggal pada tahun 1580 dan dimakamkan di desa Losari Lor, kecamatan
Losari, kabupaten
Brebes.
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes sebenarnya merupakan tari Topeng Cirebon gaya Losari
yang mendapatkan banyak pengaruh lokal, termasuk dari segi alur ceritanya.
Babak tarian
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes merupakan jenis tari Topeng Cirebon yang berkembang di
wilayah kecamatan Losari, kabupaten
Brebes yang mendapat pengaruh dari
kebudayaan Jawa.
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes
menceritakan legenda Joko Bluwo, seorang pemuda petani desa yang berwajah buruk
rupa berkeinginan untuk mempersunting putri raja yang cantik jelita bernama
Putri Candra Kirana. Dikisahkan, keinginan Joko Bluwo akhirnya dikabulkan sang
raja, setelah Joko Bluwo memenuhi syarat yang diajukan Raja.
Namun, di tengah pesta pernikahan,
seorang raja dari kaum raksasa yang juga berkeinginan menikahi putri Candra
Kirana datang dan membuat kekacauan. Dia mengajak bertarung pada Joko Bluwo
untuk memperebutkan sang putri. Joko Bluwo akhirnya berhasil mengalahkan raja
raksasa dan hidup bahagia bersama putri Candra Kirana.
Tari
Topeng Cirebon gaya Celeng
' Tari Topeng Cirebon gaya Celeng merupakan
salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di blok (bahasa
Indonesia: dusun) Celeng, desa Loh Bener, Kecamatan Loh Bener , kabupaten Indramayu
Musik
pengiring
Lagu atau musik pengiring yang
digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Celeng ternyata memiliki
kesamaan dengan musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Gegesik dan Slangit
namun dengan beberapa kekhasan tersendiri, misalnya pada tetaluan (bahasa
Indonesia: tabuhan gamelan) Kembang Sungsang jika gongnya ada
dua maka nada yang dimainkan adalah miring dan susul saja,
sedangkan jika terdapat tiga gong, tetaluan kembang sungsang
nada yang dimainkan adalah miring, susul dan sanga.
Dalang
tari Topeng Cirebon gaya Celeng
Asal usul gaya Celeng dipercaya
dibawa oleh Ki Kartam (seorang ahli dalang wayang dan dalang
topeng) dari wilayah Majakerta yang merupakan kakak dari Ki Panggah
(yang melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara di kabupaten
Subang), sementara kedekatan gerak tarian
antara gaya Celeng dengan gaya Pekandangan disebabkan mimi Rasinah
yang aslinya berasal dari desa Pamayahan ,Kecamatan Loh Bener, Kabupaten Indramayu belajar
seni dalang topeng kepada ibu (dialek Dermayu: emak)
Suminta, ibu dari Ki Dalang Haji Rusdi dan nenek (dialek Dermayu: Mak tuwa) dari
budayawan Cirebon asal Indramayu Ady Subratha, kemudian mimi Rasinah
pindah ke desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu dan
mempopulerkan tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan, inilah yang menyebabkan ada
beberapa gerak tarian yang terkesan mirip antara gaya Celeng dengan gaya
Pekandangan
Pada masa kejayaan gaya Celeng, ada
seorang dalang Topeng lain yang terkenal selain emak Suminta,
yaitu emak Sukesah yang masih saudara dengan emak Suminta. Emak Sukesah
kemudian menikah dengan Ki dalang Sajim (dalang Wayang Kulit Cirebon) dari Kecamatan Pegaden, kabupaten Subang, keluarga Ki Sajim
kemudian ada yang meneruskan menjadi dalang Wayang Kulit Cirebon diantaranya adalah Ki Sukardi
dan Ki Casta.
0 comments:
Posting Komentar