Rabu, 11 Desember 2019

asal muasal Tari Topeng di Cirebon



Tari topeng adalah salah satu tarian tradisional yang ada di kota Cirebon. Tari ini di namakan tari topeng karena ketika beraksi sang penari itu memakai topeng. Konon jauh sebelum Tari Topeng masuk ke kota Cirebon, telah tumbuh dan berkembang sejak abad ke 10-16 masehi di Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala, yakni Prabu Amiluhur atau Prabu Panji Dewa.
Melalui seniman jalanan (pengamen) seni Tari Topeng akhir nya masuk ke kota Cirebon dan kemudian mengalami perpaduan dengan kesenian setempat. Pada masa kota Cirebon menjadi pusat penyebaran Agama Islam (zaman Wali Songo) , Syekh Syarif Hidayatullah yang bergelar Syekh Sunan Gunung Jati bekerjasama dengan Syekh Sunan Kalijaga memfungsikan Tari Topeng sebagai bagian dari upaya penyebaran Agama Islam yang di kota Cirebon sendiri, juga sebagai tontonan dilingkungan keratin. Di samping ada 6 (enam) jenis kesenian kesenian lainnya yang ada di kota Cirebon seperti, Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.
Dalam perkembangan nya di masyarakat umum, Topeng kota Cirebon kemudian memperoleh dan memiliki bentuk serta penyajiannya yang sangat spesifik, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Tari Topeng Rahwana atau bias di sebut juga Topeng Kelana, Tari Topeng Tumenggung,Tari Topeng Rumyang,Tari Topeng samba dan Tari Topeng Panji yang menggunakan Topeng sebagai penutup muka dengan 5 (lima) jenis topeng yang kemudian di kenal dengan sebutan Panca Wanda atau bisa juga biasa di sebut (lima wanda atau lima rupa), yakni Rahwana, Tumenggung, Rumyang, Samba dan Panji.
Beberapa orang beranggapan bahwa Tari Topeng di Cirebon adalah suatu seni tradisional yang dilakukan secara turun-temurun. Namun, didalamnya ada sedikit unsur mistik, tetapi hal ini tidak akan berdampak terhadap hidup kita, melainkan hanya sekedar pertunjukan seni semata.

SEJARAH PERKEMBANGAN TARI TOPENG KOTA CIREBON
Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang mengandung pesan pesan terselubung, karena unsur unsur yang terkandung di dalam nya mempunyai arti simbolik yang bila di terjemah kan sangat menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasi nya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa.
Dalam hubungan itu, tidaklah mengherankan bahwa Tari Topeng di Cirebon dapat di jadikan media komunikasi untuk di manfaatkan secara positif. Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon;Syekh Syarif Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga memfungsi kan Tari Topeng dan 6 (enam) jenis kesenian lainnya sebagai bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan di lingkungan Keraton. Adapun Keenam kesenian kesenian tersebut adalah Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.
Jauh sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh dan berkembang sejak abad 10 –11 M. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala diJawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan ( pengamen )Seni Tari Topeng masuk ke Cirebon dan kemudian mengalami perpaduandengan kesenian rakyat setempat.
Perkembangan Tari Topeng ini sangat lah pesat, terbukti dengan banyak berdiri nya sanggar-sanggar yang mengadakan pembinaan dan pelatihan. Sekarang tari topeng banyak di gemari oleh generasi muda, banyak generasi muda mengikuti  pelatihan di sanggar-sanggar umtuk terus melestarikan budaya tradisional.
Dengan Seiring perkembangan nya  teknologi yang begitu cepat, sekarang pagelaran tarian ini di pentaskan di dalam gedung, dan lampu listrik sebagai peneranganya. Tujuan pagelaran tarian ini dibagi menjadi 3 bagian antara lain:
1. Pagelaran Komunal
Pagelaran yang diselenggarakan untuk semua anggota masyarakat. Hampir semua masyarakat ikut berpartisipasi dalam pagelaran tarian ini. Acaranya cukup spektakuler, ada arak-arakan dalang dan ada juga atraksi-atraksi. Biasanya pagelaran ini diselenggarakan lebih dari satu malam. Contoh dari pagelaran komunal adalah hajatan desa, ngunjung atau ziarah kubur, dan ngarot kasinom ( acara kepemudaan ).
2. Pagelaran Individual
Acara pagelaran yang diadakan oleh perorangan. Misalnya untuk memeriahkan acara pernikahan, khitan, dan khaulan atau seseorang yang melaksana kan nazar. Biasanya pagelaran ini dipentaskan di halaman rumah si pemilik hajat.
3. Pagelaran Babarangan
Pagelaran ini merupakan acara pementasan keliling kampung, hal ini dilakukan karena inisiatif dari dalang topeng itu sendiri. Biasa nya pagelaran ini berkeliling di desa yang sudah melakukan panen, jika di desa belum panen maka keliling dilakukan di kota yang ramai. Saat di desa belum panen, keliling kota dilakukan karena di desa sedang mengalami kekeringan dan di desa itu sedang sepi penduduk.


FILOSOFI TARI TOPENG DI KOTA CIREBON
Sudah lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya pesona nya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon, adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer di Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tarian nya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejati nya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan membosan kan.
Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanya lah pewaris dan bukan pencipta nya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang dahulu memelihara nya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak di perkenan kan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton tidak di mungkin kan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda.
Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Danseperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.
Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, di perlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus di perbanding kan satu sama lain sehingga tercapai pola dan struktur nya yang mendasari nya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.



0 comments:

Posting Komentar